- Home >
- Cerpen (Short Stories) >
- Sebuah Pena
Posted by : Alsy Taqiya
May 11, 2017
Namaku
Phei. Tinggal di sebuah desa pinggiran di Thailand. Orang tuaku bekerja sebagai
penulis. Huh, entah mengapa, aku tidak begitu tertarik dalam menulis. Tak sama
dengan adik-adikku yang setiap hari selalu meluangkan waktunya untuk menulis.
Rumah adalah neraka bagiku. Setiap hari, aku selalu dipaksa untuk menulis oleh
orangtuaku, terutama ibuku. Aku dibeda-bedakan kedua orang tuaku dengan adikku
lain. Kesal. Sangat kesal. Aku bingung, mengapa mereka tertarik dalam menulis.
Padahal, hasil karya tulisan mereka seringkali ditolak mentah oleh penerbit
buku, tapi kenapa mereka tetap menyukai pekerjaan yang membosankan itu?!
Bahkan,
ayahku yang telah kehilangan kedua tangannya sejak aku kecil, masih memaksakan
menulis dengan kakinya. Aku yang memiliki ayah seperti itu, menjadi bahan
olok-olok temanku di sekolah. Terpaksa ku tak mengakui bahwa dia adalah ayahku.
Walaupun ia sayang padaku, aku membencinya. Beda dengan ibuku yang justru
semakin galak tiap harinya. Di saat aku butuh support, ia malah men-judgeku
dengan membeda-bedakan adikku yang lain yang sok rajin menulis novel di depan
orang tuaku. Cih, tapi ya memang rajin sih.
“Memang
tidak ada kah pekerjaan lain selain menulis?” kataku pada mereka setiap mereka
memaksaku menulis. Setiap ku coba untuk menulis, aku tidak memiliki imajinasi
yang tajam sehingga yang ku tulis hanya kata-kata bodoh yang tak bermakna. Aku
pun juga merasa aneh dengan sebuah pena yang diberikan oleh orang tuaku. Saat
aku tidur, pena itu selalu mengikutiku dan berubah menjadi sebuah pena yang
amat besar dan tajam yang selalu memberikan aku selembar kertas dan memaksaku
untuk menulis dengan pena itu sendiri. Saat itulah, suara aneh menghantuiku berulang-ulang kali. “Menulislah nak, karena dengan itu kau akan
mengerti…”
“Mau
kemana? Pakai jaket dulu nak, di luar sangat dingin!” Ayah berbicara denganku
sambil menyeruput kopi yang disuapkan oleh adikku. |
“Tidak, ayah! Aku bukan anak kecil lagi. Aku mau ke mana saja ke tempat yang ku suka! Aku muak di sini!” balasku mentah pada ayah. Aku melangkah ke arah yang ingin kutuju. Di tengah jalan, aku bertemu dengan sekumpulan temanku yang menatapku sinis,
“Hei lu, anak orang cacat! Mana bakat loe menulis pake kaki? Ha-Ha-Ha! Dasar ga tau diri!” Mereka mengolok-olokku dengan membawa-bawa ayahku.
“Siapa kalian! Enak aja, aku tak punya ayah cacat! Minggir!” kataku spontan.
“Halah, anak orang kismin aja, HAHA! Lihat, HP gue baru nih. Gak kepingin? Ini HP bersistem paling canggih ‘n gak kalah nge-trend sama HP jadulmu!” tunjuk Roy, anak orang terkaya di desa itu.
Aku pun tak menghiraukan kata-kata mereka dan berjalan terus untuk menemukan tempat yang cocok dengan mood-ku sekarang. Tetapi, aku tetap terbayang oleh kata pedas mereka di sepanjang jalan. Rasanya, aku tak menerima kepahitan hidupku ini.
“Tidakkah ada yang senasib denganku?!” Sejenak ku melewati rumah gubuk tua yang sangat jelek dan di dalamnya terlihat ada sosok ibu, ayah, dan seorang anak yang sangat kurus kering kerontang dibanding dengan keadaan keluargaku. Aku menyadari bahwa di sana ada banyak orang yang lebih parah nasibnya daripada aku. Tetapi, tetap saja. Kata-kata mereka yang telah membuat telingaku panas tetap saja melintas di pikiranku. Tanpa sadari, aku telah berjalan jauh ke tengah kota.
”Aku benci pulang ke rumah! Aku benci mereka! Benci orang tua! Benci semua! Benci diriku!” Aku tak tahu arah. Ku tersesat. Tanpa ku sadari, aku telah berada di tengah jalan, dan…
“HONK-HONK~ ! HONK-HONK~!!”
“Brakk!”
“Tidak, ayah! Aku bukan anak kecil lagi. Aku mau ke mana saja ke tempat yang ku suka! Aku muak di sini!” balasku mentah pada ayah. Aku melangkah ke arah yang ingin kutuju. Di tengah jalan, aku bertemu dengan sekumpulan temanku yang menatapku sinis,
“Hei lu, anak orang cacat! Mana bakat loe menulis pake kaki? Ha-Ha-Ha! Dasar ga tau diri!” Mereka mengolok-olokku dengan membawa-bawa ayahku.
“Siapa kalian! Enak aja, aku tak punya ayah cacat! Minggir!” kataku spontan.
“Halah, anak orang kismin aja, HAHA! Lihat, HP gue baru nih. Gak kepingin? Ini HP bersistem paling canggih ‘n gak kalah nge-trend sama HP jadulmu!” tunjuk Roy, anak orang terkaya di desa itu.
Aku pun tak menghiraukan kata-kata mereka dan berjalan terus untuk menemukan tempat yang cocok dengan mood-ku sekarang. Tetapi, aku tetap terbayang oleh kata pedas mereka di sepanjang jalan. Rasanya, aku tak menerima kepahitan hidupku ini.
“Tidakkah ada yang senasib denganku?!” Sejenak ku melewati rumah gubuk tua yang sangat jelek dan di dalamnya terlihat ada sosok ibu, ayah, dan seorang anak yang sangat kurus kering kerontang dibanding dengan keadaan keluargaku. Aku menyadari bahwa di sana ada banyak orang yang lebih parah nasibnya daripada aku. Tetapi, tetap saja. Kata-kata mereka yang telah membuat telingaku panas tetap saja melintas di pikiranku. Tanpa sadari, aku telah berjalan jauh ke tengah kota.
”Aku benci pulang ke rumah! Aku benci mereka! Benci orang tua! Benci semua! Benci diriku!” Aku tak tahu arah. Ku tersesat. Tanpa ku sadari, aku telah berada di tengah jalan, dan…
“HONK-HONK~ ! HONK-HONK~!!”
“Brakk!”
***
“Di
mana ini? Aku di mana? Siapa kau?” ku berkata lemah pada seorang laki-laki muda
yang mengenakan jas putih dan membawa peralatan medis.
“Arrrgh.. sakit. Ada apa dengan tangan kiriku?” kataku dalam hati.
Aku dihantui dengan beribu-ribu pertanyaan terhadap aku sendiri. Lalu aku menangis. Ku sadari bahwa aku telah tertabrak truk tadi siang. Merasa kesakitan, ku coba untuk tidur tanpa kata terucap lagi. Aku bermimpi. Butiran-butiran debu terpajang jelas ke arahku. Dan pena itu… lagi-lagi muncul di mimpiku. Ayah dan ibu di sana. Mereka menambil pena itu yang nampak patah. Mereka menangis dan terisak dengan kepatahan pena itu yang kemudian mereka simpan. Tiba-tiba ku mendengar jeritan mereka memanggil namaku.
“Phei… Phei…!! Anakku, Phei…!!” Aku tersontak dan terbangun. Ku rasakan sakit. Ku lihat di luar jendela yang telah gelap. Ternyata, matahari telah berganti bintang. Ku lihat ada dua orang yang duduk di samping kanan dan kiri kasurku. Mereka ayah dan ibuku yang tertidur dengan air mata yang masih berlinang. Ku coba untuk berbicara, namun tak bisa. Kondisiku yang sangat lemah ini membuatku sulit menggerakkan semua anggota badanku termasuk mulutku. Dalam hati ku berkata, “Ayah… ibu… maafkan aku, yang telah membuat kalian semakin susah.”
“Arrrgh.. sakit. Ada apa dengan tangan kiriku?” kataku dalam hati.
Aku dihantui dengan beribu-ribu pertanyaan terhadap aku sendiri. Lalu aku menangis. Ku sadari bahwa aku telah tertabrak truk tadi siang. Merasa kesakitan, ku coba untuk tidur tanpa kata terucap lagi. Aku bermimpi. Butiran-butiran debu terpajang jelas ke arahku. Dan pena itu… lagi-lagi muncul di mimpiku. Ayah dan ibu di sana. Mereka menambil pena itu yang nampak patah. Mereka menangis dan terisak dengan kepatahan pena itu yang kemudian mereka simpan. Tiba-tiba ku mendengar jeritan mereka memanggil namaku.
“Phei… Phei…!! Anakku, Phei…!!” Aku tersontak dan terbangun. Ku rasakan sakit. Ku lihat di luar jendela yang telah gelap. Ternyata, matahari telah berganti bintang. Ku lihat ada dua orang yang duduk di samping kanan dan kiri kasurku. Mereka ayah dan ibuku yang tertidur dengan air mata yang masih berlinang. Ku coba untuk berbicara, namun tak bisa. Kondisiku yang sangat lemah ini membuatku sulit menggerakkan semua anggota badanku termasuk mulutku. Dalam hati ku berkata, “Ayah… ibu… maafkan aku, yang telah membuat kalian semakin susah.”
Di
genggaman tangan ibu kulihat ada sebuah buku berwarna merah marun yang tak
pernah ku ketahui sebelumnya. Aku mencoba untuk mengambilnya dengan tangan
kananku perlahan-lahan dan dalamnya berjudulkan sepucuk cerita perjalanan hidup
ayah dan ibuku. Pada halaman pertama, ku temukan bahwa ayah dan ibu yang
sama-sama orang Thailand, bertemu pertama kali di luar negeri, yakni negara
Italia saat mereka dipilih menjadi penulis terbaik yang telah mengarang lebih
dari 50 buku tentang berbagai macam topik terhangat. Aku salut pada mereka. Di
foto tertuliskan “Our Sweet Journey.”
Entah mengapa, aku jadi membeku saat melihat foto mereka saat muda. Di halaman
itu juga tertuliskan bahwa mereka menikah di sana dan tinggal di Roma selama 5
tahun. Tak disangka, ternyata aku lahir di Roma, Italia. Mengapa aku baru tahu
sekarang? Mengapa mereka tak menceritakannya padaku? Aku yang berusia 15 tahun
sekarang baru mengerti tempat lahirku. Di halaman itu terdapat fotoku dan ayah
ibu yang mencium pipiku. Aku tersentuh dan merasakan kasih sayang mereka yang
sangat besar.
Pada
halaman kedua, ada sepatah cerita ayah. Walau tulisannya agak pudar, aku tetap
dapat membacanya. Cerita itu menceritakan tentang perjalanan pulang dari
Italia.
Minggu,
23 Oktober 1839
Pagi
itu basah ditetesi oleh salju,
mengiringi perjalanan pulang kita. Salju terus turun. Tumpukan-tumpukan putih
berkilauan di pinggir jalan, membentuk bukit-bukit kecil di sepanjang jalan
raya dan jalur pejalan kaki Roma. Tiba-tiba angin kencang datang, pertanda ada
badai menghempur. Kita dan Phei yang sedang menaiki mobil mini kala itu
khawatir dan memikirkan jalan keluar. Tiba-tiba pohon besar menimpa mobil dan
memecah kaca mobil. Segera ku peluk kalian… Ku tak ingin kau dan Phei terluka.
Darah bercucuran sekujur tubuhku. Ku tahan sakit meski harus kehilangan kedua
tanganku. Bagiku, itu lebih baik daripada kehilangan kedua orang yang sangat
kusayangi…”
Hiks. Aku terisak oleh cerita yang
ditulis ayah dengan kakinya karena terlihat jejak kaki di cerita itu. Hiks. Air
mata terus bercucuran membasahi pipiku. Ya Tuhan… betapa besarnya pengorbanan
ayahku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Ku merasa bahwa akulah makhluk terkejam di
bumi ini. Ku telah menyakiti perasaan ayahku yang cacat hanya karena ingin
menghindari olokan teman-teman. Seharusnya aku bangga pada ayah, yang telah
berkorban untukku dan ibu. Padahal di balik semua itu... Hiks.. Aku kejam! Ku
pandangi wajah ayahku yang tertidur di samping kananku. Terlihat sosok wajahnya
yang lelah. Oh ayah, oh ibu, maafkan Phei yang menambah beban kalian. Segera
setelah itu, ku buka halaman ketiga yang menceritakan tentang ayah dibawa ke
rumah sakit dan harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Karena itu,
kekayaan ayah ibuku yang semula berasal dari kejayaannya sebagai penulis
terkenal di seluruh penjuru dunia, habis ludes. Ayah masih bisa diselamatkan di
tengah darah yang banyak hilang, tetapi ia harus kehilangan kedua tanganya. Di
situ tertuliskan bahwa semenjak kejadian itu, ayah dan ibuku tidak dikenal oleh
penulis lainnya karena ketidaksanggupan menerbitkan buku best-seller lagi dan karena terpuruk oleh kemiskinan. Membaca itu,
aku jadi kasihan pada ayah dan ibuku. Mata mereka yang walau tertutup, nampak
berkas cahaya yang yang tetap ada untukku saat ku terjerat dalam kegelapan.
Ku buka
halaman berikutnya. Di lembaran itu nampak tinta baru yang mungkin saja baru
ditulis. Aku terkejut. Ternyata, semenjak kepergianku hari-hari kemarin, ibu
telah dinobatkan menjadi penulis tersukses ke-3 di Asia Tenggara. Beliau
memenangkan rubrik cerita tentang perang dunia dari zaman ke zaman dan sebuah
cerita fiksi yang menginspirasi banyak orang di berbagai kalangan dunia. Tak
kusangka. Selama ini, aku memang jarang sekali berkomunikasi dengan ibu. Dari
dulu, aku menganggap ibu sebagai orang yang super galak hanya karena ocehannya
padaku yang sebenarnya itu adalah nasehat baik untukku. Anak apa aku ini? Ku
baru menyadarinya betapa diriku ini telah menyusahkan mereka. Ku teringat
keadaanku sekarang, lalu, untuk biaya operasiku, apakah ini akan membuat ibu
sedih yang harus merelakan hadiah kejayaannya sebagai penulis terbaik tahun
ini? Tak habis ku pikir. Di lubuk hatiku yang sangat dalam ini, ingin rasanya aku
membuat mereka tersenyum selama ini. Aku telah bertekad untuk menjadi anak baik
dan mencontohkan yang baik pula pada adik-adikku. Aku tak ingin menyusahkan
kedua orang tuaku. Aku bangga memiliki ayah dan ibu. Mereka pahlawan sejatiku.
Aku tak akan malu pada temanku bila aku anak mereka. Akan ku buat mereka
bahagia sebelum malaikat maut menjemput mereka. Aku beruntung masih mempunyai
mereka. Aku sangat menyayangi mereka. Oleh karena itu, oh ayah, oh ibu, akan ku
rangkai dan ku hias sebuah pena menjadi sebuah buku. Ya, aku ingin meneruskan
perjuangan mereka sebagai penulis. Sekali lagi, ku ucapkan dari lubung hatiku,
Ayah... Ibu... ku mohon, maafkanlah aku.
Catatan : Hormatilah kedua orang tuamu dan sayangilah mereka. Kita tak pernah bisa menghitung betapa mahalnya jasa dan pengorbanan mereka.
Catatan : Hormatilah kedua orang tuamu dan sayangilah mereka. Kita tak pernah bisa menghitung betapa mahalnya jasa dan pengorbanan mereka.
TAMAT
By : Alsy Taqiya Herasafitri