Showing posts with label Cerpen (Short Stories). Show all posts

            "Dear Diary, hari ini aku merasa sangat senang, entah mengapa :D Pagi-pagi ku bangun dengan udara segar saat ku buka jendela kamar. Mataku terbelalak ke meja belajar, melihat nasi goreng, salad buah, dan jus alpukat sudah siap untuk disantap. Pasti ibu sengaja menyiapkan pagi-pagi ini untukku. Wajar saja, kemarin aku nggak makan malam karena kebawa bad mood gara-gara berantem sama kak Shafira. Ughh..  jahat pol!! Lalu, ku kunci pintu kamarku, memastikan agar kakak nggak ngganggu dan agar kucingku tidak masuk kamar dan melas-melas minta makan. Haha... perfect!" tulis Sheila di buku hariannya.

            "Dok! Dok! Dok! Sheilaa.. cepetan buka pintunya!!" kakakku yang sangat amat super duper menjengkelkan, membuatku kaget setengah mati sampai tersedak saat ku cicipi suapan pertama.
            "Uhuk! Uhuk! Bentar ta, kak!! nggak tau apa, kalo aku lagi enak-enak breakfast?!" bentak Sheila dengan memasang muka kecut di depan kakaknya.
            "Cih, jangan sok bule, lu! Itu tuh, ada Barbie film kesukaan lu!" kata Shafira yang menunjuk ke arah TV. Sheila pun cepat-cepat keluar kamar, takut ketinggalan serial episode Barbie, yang selama ini lama tak muncul di TV.
            "Horee, ada Barbie! Lo... tapi mana kak? Kok nggak ada?" Sheila mencoba untuk mengganti-ganti channel TV. Ia tampak seperti orang kebingungan karena tak dapat menemukan film kesukaannya.
            "Hahahaha! Satu monyet telah tertipu, maafkan aku, kasihan deh luu ♪!!" tipu Shafira pada adiknya dengan tertawa terlingkal-pingkal. Sheila pun marah.
            "Iiiihh.... dasar kak Fir'aun!! Awas ya! Sheila nggak mau percaya lagi sama kakak!" Sheila pun mencakar pipi kakaknya karena telah membuatnya kesal.
            "Aaaaau! Sakit tauk! Huh, biarin aja, salahmu sendiri yang kemarin ngasih banyak garam ke jusku!" bentak Shafira ke adiknya. Adiknya menangis dan mengadu ke ibunya.
            "Huaa... mama... kak Shafira nakal.."
            "Shafira! Kamu apakan adikmu sampai pipinya merah semua gini?! Kalian ini... setiap hari bertengkar saja! Shafira! Kamu itu sebagai kakak harus jadi contoh yang baik ke adikmu! Cepetan maaf ke adik!" pinta ibu mereka.
            "Lo, tapi kok aku Maa? Seharusnya adik dulu dong, adik yang masukin garam ke jusku dulu, Maa!!" kata Shafira tak mau kalah.
            "Nggak ada tapi-tapian!! Cepat maafan!" kata sang ibu. Dengan terpaksa, Shafira mengulurkan tangannya untuk minta maaf ke adiknya, namun ia tak ikhlas.
            "Maaf!" kata Shafira singkat.
            "Huh!" balas adiknya, dengan mengulurkan tangannya pula.

***
            Huh, gitu deh. Gua benci sama adik gua sendiri. Setiap hari selalu aja jadi trouble-maker hidup gua. Yang nyoret-nyoretin tugas PRku lah, nambahin garam ke minumanku lah, ngotorin seragamku lah, nyembunyiin sepatu sekolahku lah, matiin alarmku lah, ahh pokoknya banyak banget! Karena itu, aku jadi sering dimarahin guruku karena terlambat, cuma gara-gara nyariin sepatu sebelah kiriku yang diumpetin adik. Hah, adik? Sebenernya males gua manggil dia sebagai adik. Tapi karena dipaksa sama ibu, jadi gua harus gitu. Pokoknya males banget ngakuin berdarah daging sama dia! Disuruh ngambilin kacamataku yang ketinggalan aja ogah. Harusnya kan sang adik berbakti pada kakaknya, kan? Dan ujung-ujungnya waktu aku ngerjain adik dikit aja, gua yang kena marah ibu! Aku lagi! Aku lagi! Adik nggak pernah dimarahin ibu, padahal adik yang memulai perang! Hiiihhh dunia ini serasa gak adil! Namun, aku tetap sayang sama ibuku alias mamaku karena beliau adalah sosok ibu yang tangguh, peduli, dan penuh kasih sayang.

*Sore harinya...*

            "Bu, Fira pamit dulu, ya. Mau ke rumah Salsa untuk ambil buku. Assalamu'alaikum!" kataku sambil mencium tangan ibuku.
            "Wa'alaikumsalam. Iya... hati-hati di jalan!" balas ibu. Aku pun bergegas mengambil sepeda ontel kesayanganku, dan meluncur ke rumah temanku yang namanya Salsa. Yap, seperti biasanya, aku yang bisa dibilang ceroboh sering meninggalkan buku pelajaran seusai kerja kelompok.
            "Tok! Tok! Tok! Sal...sa..." panggilku di depan pintu yang masih tertutup.
            "Kreeek..." suara pintu membuka dengan perlahan dan ku lihat, loo.. tadi siapa ya yang buka ? eh, ternyata yang buka adiknya Salsa yang tingginya jauh lebih pendek dariku.
            "Eh, ada kak Fira... silahkan masuk kak, tunggu mbak Salsa ya, dia masih mandi." kata Fatimah, adik kecil Salsa yang sangat sopan.
            "Assalamu'alaikum." kataku dengan memasuki ruang tamu perlahan.
            "Wa'alaikum salam. Duduk dulu ya, kak." balas Fatimah. Shafira pun melihat sekeliling foto di ruang tamu. Di sana, terpajang foto besar yang bergambarkan Salsa dan adiknya yang terlihat saling rukun dan akur dengan senyuman cantik mereka berdua. Di samping foto itu pun, Fira melihat rajutan halus yang tidak asing lagi karya Fatimah yang bergambar dua bunga cantik. Di pojok foto tertuliskan 'untuk kak Salsa yang tersayang. Selamat ulang tahun yang ke-16 ya!' Shafira pun terbayang dengan sosok adiknya. Ia sempat terharu dengan foto dan lukisan itu. Tak lama kemudian, datanglah Fatimah yang sedang membawa tiga cangkir sirup dan sekotak kue brownies.
            "Silahkan dimakan kuenya dan diminum sirupnya, ya kak!" kata Fatimah dengan senyum lebarnya. Shafira pun kagum pada adiknya Salsa. Ia pun meminum sirup yang telah dibuatkan oleh Fatimah.
            "Makasih ya, dik. Hmmm... manisnya pas. Apa sirup ini kamu yang buat?" tanya Fira.
            "Hehe... iya, kak. Syukurlah kalau manisnya pas." balas Fatimah. Mendengar itu, Fira pun ingin bertanya pada Fatimah. Sebuah pertanyaan yang ingin sekali ia tanyakan.
            "Dik, kakak mau tanya. Kenapa sih kamu kok mau nyiapin makanan dan minuman ini untuk aku? Padahal aku kan tamunya kakakmu?" tanya Fira.
            "Tamu kakakku itu tamuku juga, kak. Ini sudah biasa kok. Saat aku kedatangan tamu dari temanku, kak Salsa juga membantuku untuk menyiapkan jajanan buat tamuku. Saat aku dalam keadaan susah pun, kak Salsa sering membantuku. Pokoknya, kita tu saling membantu dalam keadaan apa pun." jawab Fatimah dengan bangganya. Ia terlihat senang sekali mempunyai kakak yang bernama Salsa. Mendengar itu, Fira pun merasa bersalah pada adiknya. Ia teringat pada kata guru Fisikanya bahwa hal yang dialaminya itu berkaitan dengan Hukum Newton ke-3 yakni 'sebab-akibat'.
            "Selama ini aku nggak pernah menunjukkan rasa peduli pada dik Sheila. Aku jadi tahu bahwa apabila aku baik ke adikku, care, dan mau menolongnya, pasti dia akan care, nggak usil, menolongku, dan baik ke aku," kata Shafira dalam hati. Rupanya, ia telah sadar sekarang.
            "O iya, kak... ini buku Biologi kakak. Tadi, katanya kak Salsa mendadak disuruh ibu ke pasar lewat gerbang belakang, lalu ia menitipkan buku ini ke aku. Maaf ya kak, kak Salsa harus segera ke pasar soalnya nanti mau ada acara di rumah ini... Jadi ya harus beli ini itu untuk cepat dimasak." gumam Fatimah.
            "Ah, nggak-papa, kok. Kalau begitu, makasih ya, cantik! Kakak pamit dulu. Assalamu'alaikum!" kata Shafira pada Fatimah. Fatimah pun pipinya memerah.
            "Hehe... sama-sama, kak! Wa'alikumsalam. Hati-hati ya, kak! Kapan-kapan main kesini lagi lo, ya...." pinta Fatimah dengan senyuman dari bibir kecilnya.
            "Pasti dong! Dadaa~"
            "Daa~"

            Shafira pun bergegas menuju toko boneka barbie. Di sana, ia belikan adiknya sebuah boneka barbie cantik, berambut pirang, dan bermata biru. Ia akan memulai hubungan baik pada adiknya. Ia yakin, adik akan merasa senang. Ia pun bertekad untuk menjadi contoh kakak yang baik. Lalu, ia pun memancal pedal sepedanya menuju ke rumahnya. Sesampainya, ia buat kejutan ke adiknya.
            "Ciluuuk... Baaa!" Shafira menutup mata adiknya dan langsung melihatkannya sebuah boneka Barbie kesukaan adiknya.
            "Barbie!!! Hore... makasih, kak Fira... Sheila sayang kakak!" Sheila langsung memeluk kakaknya dengan penuh tawa yang selama ini jarang Fira lihat. Fira pun ikut senang dan mengelus rambut adiknya. Dia terkejut bahwa adiknya akan memeluknya. Hari demi hari telah berganti. Suasana rumah jadi semakin nyaman. Tak ada tengkar, suara teriak, dan luka. Kini, Shafira dan Sheila adalah sepasang kakak-adik yang ceria dan saling membantu. \(^-^)/

Catatan : Sesama saudara, harusnya saling rukun. Sejatinya, mereka adalah orang yang mau mengerti keadaan kita. Kita pun harus menghargai dan menolong mereka. (^∇^)


TAMAT

By : Alsy Taqiya Herasafitri

Saling Membantu

Author : Alsy Taqiya Comments : 0

            Namaku Phei. Tinggal di sebuah desa pinggiran di Thailand. Orang tuaku bekerja sebagai penulis. Huh, entah mengapa, aku tidak begitu tertarik dalam menulis. Tak sama dengan adik-adikku yang setiap hari selalu meluangkan waktunya untuk menulis. Rumah adalah neraka bagiku. Setiap hari, aku selalu dipaksa untuk menulis oleh orangtuaku, terutama ibuku. Aku dibeda-bedakan kedua orang tuaku dengan adikku lain. Kesal. Sangat kesal. Aku bingung, mengapa mereka tertarik dalam menulis. Padahal, hasil karya tulisan mereka seringkali ditolak mentah oleh penerbit buku, tapi kenapa mereka tetap menyukai pekerjaan yang membosankan itu?!
            Bahkan, ayahku yang telah kehilangan kedua tangannya sejak aku kecil, masih memaksakan menulis dengan kakinya. Aku yang memiliki ayah seperti itu, menjadi bahan olok-olok temanku di sekolah. Terpaksa ku tak mengakui bahwa dia adalah ayahku. Walaupun ia sayang padaku, aku membencinya. Beda dengan ibuku yang justru semakin galak tiap harinya. Di saat aku butuh support, ia malah men-judgeku dengan membeda-bedakan adikku yang lain yang sok rajin menulis novel di depan orang tuaku. Cih, tapi ya memang rajin sih.
            “Memang tidak ada kah pekerjaan lain selain menulis?” kataku pada mereka setiap mereka memaksaku menulis. Setiap ku coba untuk menulis, aku tidak memiliki imajinasi yang tajam sehingga yang ku tulis hanya kata-kata bodoh yang tak bermakna. Aku pun juga merasa aneh dengan sebuah pena yang diberikan oleh orang tuaku. Saat aku tidur, pena itu selalu mengikutiku dan berubah menjadi sebuah pena yang amat besar dan tajam yang selalu memberikan aku selembar kertas dan memaksaku untuk menulis dengan pena itu sendiri. Saat itulah, suara aneh menghantuiku berulang-ulang kali. “Menulislah nak, karena dengan itu kau akan mengerti…”
            “Mau kemana? Pakai jaket dulu nak, di luar sangat dingin!” Ayah berbicara denganku sambil menyeruput kopi yang disuapkan oleh adikku. |
            “Tidak, ayah! Aku bukan anak kecil lagi. Aku mau ke mana saja ke tempat yang ku suka! Aku muak di sini!” balasku mentah pada ayah. Aku melangkah ke arah yang ingin kutuju. Di tengah jalan, aku bertemu dengan sekumpulan temanku yang menatapku sinis,
            “Hei lu, anak orang cacat! Mana bakat loe menulis pake kaki? Ha-Ha-Ha! Dasar ga tau diri!” Mereka mengolok-olokku dengan membawa-bawa ayahku.
            “Siapa kalian! Enak aja, aku tak punya ayah cacat! Minggir!” kataku spontan.
            “Halah, anak orang kismin aja, HAHA! Lihat, HP gue baru nih. Gak kepingin? Ini HP bersistem paling canggih ‘n gak kalah nge-trend sama HP jadulmu!” tunjuk Roy, anak orang terkaya di desa itu.
            Aku pun tak menghiraukan kata-kata mereka dan berjalan terus untuk menemukan tempat yang cocok dengan mood-ku sekarang. Tetapi, aku tetap terbayang oleh kata pedas mereka di sepanjang jalan. Rasanya, aku tak menerima kepahitan hidupku ini.
            “Tidakkah ada yang senasib denganku?!” Sejenak ku melewati rumah gubuk tua yang sangat jelek dan di dalamnya terlihat ada sosok ibu, ayah, dan seorang anak yang sangat kurus kering kerontang dibanding dengan keadaan keluargaku. Aku menyadari bahwa di sana ada banyak orang yang lebih parah nasibnya daripada aku. Tetapi, tetap saja. Kata-kata mereka yang telah membuat telingaku panas tetap saja melintas di pikiranku. Tanpa sadari, aku telah berjalan jauh ke tengah kota.
            ”Aku benci pulang ke rumah! Aku benci mereka! Benci orang tua! Benci semua! Benci diriku!” Aku tak tahu arah. Ku tersesat. Tanpa ku sadari, aku telah berada di tengah jalan, dan…
            “HONK-HONK~ ! HONK-HONK~!!”
            “Brakk!”

***
            “Di mana ini? Aku di mana? Siapa kau?” ku berkata lemah pada seorang laki-laki muda yang mengenakan jas putih dan membawa peralatan medis.
            “Arrrgh.. sakit. Ada apa dengan tangan kiriku?” kataku dalam hati.
Aku dihantui dengan beribu-ribu pertanyaan terhadap aku sendiri. Lalu aku menangis. Ku sadari bahwa aku telah tertabrak truk tadi siang. Merasa kesakitan, ku coba untuk tidur tanpa kata terucap lagi. Aku bermimpi. Butiran-butiran debu terpajang jelas ke arahku. Dan pena itu… lagi-lagi muncul di mimpiku. Ayah dan ibu di sana. Mereka menambil pena itu yang nampak patah. Mereka menangis dan terisak dengan kepatahan pena itu yang kemudian mereka simpan. Tiba-tiba ku mendengar jeritan mereka memanggil namaku.
            “Phei… Phei…!! Anakku, Phei…!!” Aku tersontak dan terbangun. Ku rasakan sakit. Ku lihat di luar jendela yang telah gelap. Ternyata, matahari telah berganti bintang. Ku lihat ada dua orang yang duduk di samping kanan dan kiri kasurku. Mereka ayah dan ibuku yang tertidur dengan air mata yang masih berlinang. Ku coba untuk berbicara, namun tak bisa. Kondisiku yang sangat lemah ini membuatku sulit menggerakkan semua anggota badanku termasuk mulutku. Dalam hati ku berkata, “Ayah… ibu… maafkan aku, yang telah membuat kalian semakin susah.”
            Di genggaman tangan ibu kulihat ada sebuah buku berwarna merah marun yang tak pernah ku ketahui sebelumnya. Aku mencoba untuk mengambilnya dengan tangan kananku perlahan-lahan dan dalamnya berjudulkan sepucuk cerita perjalanan hidup ayah dan ibuku. Pada halaman pertama, ku temukan bahwa ayah dan ibu yang sama-sama orang Thailand, bertemu pertama kali di luar negeri, yakni negara Italia saat mereka dipilih menjadi penulis terbaik yang telah mengarang lebih dari 50 buku tentang berbagai macam topik terhangat. Aku salut pada mereka. Di foto tertuliskan “Our Sweet Journey.” Entah mengapa, aku jadi membeku saat melihat foto mereka saat muda. Di halaman itu juga tertuliskan bahwa mereka menikah di sana dan tinggal di Roma selama 5 tahun. Tak disangka, ternyata aku lahir di Roma, Italia. Mengapa aku baru tahu sekarang? Mengapa mereka tak menceritakannya padaku? Aku yang berusia 15 tahun sekarang baru mengerti tempat lahirku. Di halaman itu terdapat fotoku dan ayah ibu yang mencium pipiku. Aku tersentuh dan merasakan kasih sayang mereka yang sangat besar.
            Pada halaman kedua, ada sepatah cerita ayah. Walau tulisannya agak pudar, aku tetap dapat membacanya. Cerita itu menceritakan tentang perjalanan pulang dari Italia.

Minggu, 23 Oktober 1839
Pagi itu basah ditetesi  oleh salju, mengiringi perjalanan pulang kita. Salju terus turun. Tumpukan-tumpukan putih berkilauan di pinggir jalan, membentuk bukit-bukit kecil di sepanjang jalan raya dan jalur pejalan kaki Roma. Tiba-tiba angin kencang datang, pertanda ada badai menghempur. Kita dan Phei yang sedang menaiki mobil mini kala itu khawatir dan memikirkan jalan keluar. Tiba-tiba pohon besar menimpa mobil dan memecah kaca mobil. Segera ku peluk kalian… Ku tak ingin kau dan Phei terluka. Darah bercucuran sekujur tubuhku. Ku tahan sakit meski harus kehilangan kedua tanganku. Bagiku, itu lebih baik daripada kehilangan kedua orang yang sangat kusayangi…”

            Hiks. Aku terisak oleh cerita yang ditulis ayah dengan kakinya karena terlihat jejak kaki di cerita itu. Hiks. Air mata terus bercucuran membasahi pipiku. Ya Tuhan… betapa besarnya pengorbanan ayahku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Ku merasa bahwa akulah makhluk terkejam di bumi ini. Ku telah menyakiti perasaan ayahku yang cacat hanya karena ingin menghindari olokan teman-teman. Seharusnya aku bangga pada ayah, yang telah berkorban untukku dan ibu. Padahal di balik semua itu... Hiks.. Aku kejam! Ku pandangi wajah ayahku yang tertidur di samping kananku. Terlihat sosok wajahnya yang lelah. Oh ayah, oh ibu, maafkan Phei yang menambah beban kalian. Segera setelah itu, ku buka halaman ketiga yang menceritakan tentang ayah dibawa ke rumah sakit dan harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Karena itu, kekayaan ayah ibuku yang semula berasal dari kejayaannya sebagai penulis terkenal di seluruh penjuru dunia, habis ludes. Ayah masih bisa diselamatkan di tengah darah yang banyak hilang, tetapi ia harus kehilangan kedua tanganya. Di situ tertuliskan bahwa semenjak kejadian itu, ayah dan ibuku tidak dikenal oleh penulis lainnya karena ketidaksanggupan menerbitkan buku best-seller lagi dan karena terpuruk oleh kemiskinan. Membaca itu, aku jadi kasihan pada ayah dan ibuku. Mata mereka yang walau tertutup, nampak berkas cahaya yang yang tetap ada untukku saat ku terjerat dalam kegelapan.

            Ku buka halaman berikutnya. Di lembaran itu nampak tinta baru yang mungkin saja baru ditulis. Aku terkejut. Ternyata, semenjak kepergianku hari-hari kemarin, ibu telah dinobatkan menjadi penulis tersukses ke-3 di Asia Tenggara. Beliau memenangkan rubrik cerita tentang perang dunia dari zaman ke zaman dan sebuah cerita fiksi yang menginspirasi banyak orang di berbagai kalangan dunia. Tak kusangka. Selama ini, aku memang jarang sekali berkomunikasi dengan ibu. Dari dulu, aku menganggap ibu sebagai orang yang super galak hanya karena ocehannya padaku yang sebenarnya itu adalah nasehat baik untukku. Anak apa aku ini? Ku baru menyadarinya betapa diriku ini telah menyusahkan mereka. Ku teringat keadaanku sekarang, lalu, untuk biaya operasiku, apakah ini akan membuat ibu sedih yang harus merelakan hadiah kejayaannya sebagai penulis terbaik tahun ini? Tak habis ku pikir. Di lubuk hatiku yang sangat dalam ini, ingin rasanya aku membuat mereka tersenyum selama ini. Aku telah bertekad untuk menjadi anak baik dan mencontohkan yang baik pula pada adik-adikku. Aku tak ingin menyusahkan kedua orang tuaku. Aku bangga memiliki ayah dan ibu. Mereka pahlawan sejatiku. Aku tak akan malu pada temanku bila aku anak mereka. Akan ku buat mereka bahagia sebelum malaikat maut menjemput mereka. Aku beruntung masih mempunyai mereka. Aku sangat menyayangi mereka. Oleh karena itu, oh ayah, oh ibu, akan ku rangkai dan ku hias sebuah pena menjadi sebuah buku. Ya, aku ingin meneruskan perjuangan mereka sebagai penulis. Sekali lagi, ku ucapkan dari lubung hatiku, Ayah... Ibu... ku mohon, maafkanlah aku.

Catatan : Hormatilah kedua orang tuamu dan sayangilah mereka. Kita tak pernah bisa menghitung betapa mahalnya jasa dan pengorbanan mereka.

                                                                      TAMAT


By : Alsy Taqiya Herasafitri

Sebuah Pena

Author : Alsy Taqiya Comments : 0


The cold night comes with a loud thunderstorm outside. Drop by drop of water finally makes the city wet. Dooar! Doooar!!
“Ow yeah! It’s raining cats and dogs,” said Carl while remembering the last English idiom lesson. Then she threw her notebook and continued to spend much time sitting down, watching TV, and really had nothing to do. She enjoyed it everytime.
“Stop being couch potato! Get up and do something productive, my dear Carl!” said Carl’s mother, Mrs. Humbood. She turned off the TV. She didn’t want to let her only daughter to be lazy.
“Please, mum! I’m so bad mood today... and I’m not a lazy girl! I’ve done my homework!” Carl gave her book to her mother so that she can believe her.
“Carl! Listen to your mother! We know that you always spend too much time doing nothing! And this is the final semester, isn’t it? Have you been prepared to face the final exam next week? Don’t go out to spend such useless activity and don’t watch TV over an hour!” Carl’s father showed his anger. But he just wanted the best for his daughter. Then he tried to lower his voice, “Darling, please you go studying now, ok?” Carl just nodded. She went to her room  and began to write such a writing.
“Dear Mum.. Dad...  I just feel like loosing part of the puzzle in my life that makes me confused and what must I do now? Those puzzles are my stars and the moonlight that shines through my yellow room. But then the heavy rains come. Loosing all the memories is too easy in that autumn. I can’t catch the leave...  But now I know... you’re the best mom and dad!"  Then she slipped it in her diary. The rain got heavier. She turned her mobile phone on to listen ‘Kiss The Rain’.

*Some days later...*
“Yep! This is Sunday! Oh no, I’m forget that I can’t go out,” said Carl while holding her mobile phone. Day by day she became so bored to stay at home. However, her parents didn’t allow her to go out. So she texted her friend Kate, to accompany her in the room.
“Cheer up! You’ve had a face like a wet weekend since yesterday. What’s wrong with you, Carl?” Then she told Kate what was happened in this recent days.
“I’m so fed up with being stuck in the house all day. Have you got any idea to change my parent’s mind, Kate?”’ said Carl, frowning her face.
“Hmm... one problem a million solution, isn’t? I suggest you to hear their advice and ask them politely that you wanna go out.” Then, Kate showed her big hug to her bestie. She knew that Carl needed a shoulder to cry on. That’s what are friends for. Carl got up and asked her parents politely to hang out with Kate. “Yes, dear... you may go out but you must be home before at noon, okay?” Hearing it, Carl said, “Alright, mum! Thanks a bunch.”

Carl is very happy now. She promised to herself not to do such useless things again and began to change into the new world. Carl feels like her spirit comes back. Then she thanked to her bestie to always support her and to always be there in joy and sorrow. “What a fresh day this morning!” Since then, she is used to do more productive in her whole examination week.

The graduation school party comes. Carl is very happy when she was declared as one of the top students in that junior high school. Then, she and her friend Kate took some pictures with teachers and friends. They gave a bouquet of flowers to their teacher. They just couldn’t forget how hard her teachers taught her. Then Kate said, “Today is our school graduation party, right? What’s your view on it?” Carl nodded. She said, “Honestly, Kate... I’m jubilant to be declared as the graduate of this school, but besides it, I’m so sad too because we have to leave this colourful school which contains thousand years of memory inside, especially when we used to spend many activity with teacher, friends, and nothing was more beautiful than this. And you know? I have to leave to another city to continue my study next week. Hiks...” Kate didn’t want her bestie torn into tears. She tried to entertain her, and said, “Yeah, me too. I feel the same too.  I know how hard it will be, but listen, you never walk alone. Trust me that parting is not the  end." So saying, Carl showed her smile and said that Kate understands her well. 

But, when she heard ‘Kiss The Rain’ on piano that came from that cool boy, she was tearing with joy. “I’m terrified of this. I know it would be changed soon. I’m just a... I’M JUST A... leave that was falling and blown by the strong wind. All it was stay in memory with... that cool-brilliant boy.  The very silly and awkward moments have been proved that I was... I was... No, I won’t say it. It’s impossible. I dream immense to get it. I wanna forget it. So, I’m still here in the RAIN?”
Suddenly, Scott stopped his perform and came to Carl. “Hi, Carl! Let’s play together! I know you can play it too, right?” said him, the cool boy. “Me? What? (oh no... am I dreaming?)” said Carl. “Yeah, come on! I will take my violin. You should play that black and white thing. Are you ready?” added Scott while taking his violin. Slowly but surely, Carl said, “Definitely.”

And .... so it goes. The last encounter gonna be the most precious day she has ever had. She didn’t care what tomorrow will happen. She made sure that today is alright. She is not dreadful of tomorrow. Carl doesn’t know what she feels like. Happy? quiet wrong. Sad? not even. But, she is just having a beautiful butterfly in her stomach!


THE ENDBy : Alsy Taqiya Herasafitri

Kiss The Rain

Author : Alsy Taqiya Comments : 0

- Copyright © Sekai no Himitsu~ - Alsy Taqiya - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -