Showing posts with label Cerpen (Short Stories). Show all posts
"Dear Diary, hari ini aku
merasa sangat senang, entah mengapa :D Pagi-pagi ku bangun dengan udara segar
saat ku buka jendela kamar. Mataku terbelalak ke meja belajar, melihat nasi
goreng, salad buah, dan jus alpukat sudah siap untuk disantap. Pasti ibu
sengaja menyiapkan pagi-pagi ini untukku. Wajar saja, kemarin aku nggak makan
malam karena kebawa bad mood
gara-gara berantem sama kak Shafira. Ughh..
jahat pol!! Lalu, ku kunci pintu kamarku, memastikan agar kakak nggak
ngganggu dan agar kucingku tidak masuk kamar dan melas-melas minta makan.
Haha... perfect!" tulis Sheila
di buku hariannya.
"Dok! Dok! Dok! Sheilaa..
cepetan buka pintunya!!" kakakku yang sangat amat super duper
menjengkelkan, membuatku kaget setengah mati sampai tersedak saat ku cicipi
suapan pertama.
"Uhuk! Uhuk! Bentar ta, kak!!
nggak tau apa, kalo aku lagi enak-enak breakfast?!"
bentak Sheila dengan memasang muka kecut di depan kakaknya.
"Cih, jangan sok bule, lu! Itu tuh, ada Barbie film kesukaan lu!" kata
Shafira yang menunjuk ke arah TV. Sheila pun cepat-cepat keluar kamar, takut
ketinggalan serial episode Barbie, yang selama ini lama tak muncul di TV.
"Horee, ada Barbie! Lo... tapi
mana kak? Kok nggak ada?" Sheila mencoba untuk mengganti-ganti channel TV. Ia tampak seperti orang
kebingungan karena tak dapat menemukan film kesukaannya.
"Hahahaha! Satu monyet telah
tertipu, maafkan aku, kasihan deh luu ♪!!" tipu Shafira pada adiknya
dengan tertawa terlingkal-pingkal. Sheila pun marah.
"Iiiihh.... dasar kak Fir'aun!!
Awas ya! Sheila nggak mau percaya lagi sama kakak!" Sheila pun mencakar
pipi kakaknya karena telah membuatnya kesal.
"Aaaaau! Sakit tauk! Huh,
biarin aja, salahmu sendiri yang kemarin ngasih banyak garam ke jusku!"
bentak Shafira ke adiknya. Adiknya menangis dan mengadu ke ibunya.
"Huaa... mama... kak Shafira
nakal.."
"Shafira! Kamu apakan adikmu
sampai pipinya merah semua gini?! Kalian ini... setiap hari bertengkar saja!
Shafira! Kamu itu sebagai kakak harus jadi contoh yang baik ke adikmu! Cepetan
maaf ke adik!" pinta ibu mereka.
"Lo, tapi kok aku Maa?
Seharusnya adik dulu dong, adik yang masukin garam ke jusku dulu, Maa!!"
kata Shafira tak mau kalah.
"Nggak ada tapi-tapian!! Cepat
maafan!" kata sang ibu. Dengan terpaksa, Shafira mengulurkan tangannya
untuk minta maaf ke adiknya, namun ia tak ikhlas.
"Maaf!" kata Shafira singkat.
"Huh!" balas adiknya,
dengan mengulurkan tangannya pula.
***
Huh, gitu deh. Gua benci sama adik
gua sendiri. Setiap hari selalu aja jadi trouble-maker
hidup gua. Yang nyoret-nyoretin tugas PRku lah, nambahin garam ke minumanku
lah, ngotorin seragamku lah, nyembunyiin sepatu sekolahku lah, matiin alarmku
lah, ahh pokoknya banyak banget! Karena itu, aku jadi sering dimarahin guruku
karena terlambat, cuma gara-gara nyariin sepatu sebelah kiriku yang diumpetin
adik. Hah, adik? Sebenernya males gua manggil dia sebagai adik. Tapi karena
dipaksa sama ibu, jadi gua harus gitu. Pokoknya males banget ngakuin berdarah
daging sama dia! Disuruh ngambilin kacamataku yang ketinggalan aja ogah.
Harusnya kan sang adik berbakti pada kakaknya, kan? Dan ujung-ujungnya waktu
aku ngerjain adik dikit aja, gua yang kena marah ibu! Aku lagi! Aku lagi! Adik
nggak pernah dimarahin ibu, padahal adik yang memulai perang! Hiiihhh dunia ini
serasa gak adil! Namun, aku tetap sayang sama ibuku alias mamaku karena beliau
adalah sosok ibu yang tangguh, peduli, dan penuh kasih sayang.
*Sore harinya...*
"Bu, Fira pamit dulu, ya. Mau
ke rumah Salsa untuk ambil buku. Assalamu'alaikum!" kataku sambil mencium
tangan ibuku.
"Wa'alaikumsalam. Iya...
hati-hati di jalan!" balas ibu. Aku pun bergegas mengambil sepeda ontel
kesayanganku, dan meluncur ke rumah temanku yang namanya Salsa. Yap, seperti
biasanya, aku yang bisa dibilang ceroboh sering meninggalkan buku pelajaran
seusai kerja kelompok.
"Tok! Tok! Tok!
Sal...sa..." panggilku di depan pintu yang masih tertutup.
"Kreeek..." suara pintu
membuka dengan perlahan dan ku lihat, loo.. tadi siapa ya yang buka ? eh,
ternyata yang buka adiknya Salsa yang tingginya jauh lebih pendek dariku.
"Eh, ada kak Fira... silahkan
masuk kak, tunggu mbak Salsa ya, dia masih mandi." kata Fatimah, adik
kecil Salsa yang sangat sopan.
"Assalamu'alaikum." kataku
dengan memasuki ruang tamu perlahan.
"Wa'alaikum salam. Duduk dulu
ya, kak." balas Fatimah. Shafira pun melihat sekeliling foto di ruang
tamu. Di sana, terpajang foto besar yang bergambarkan Salsa dan adiknya yang
terlihat saling rukun dan akur dengan senyuman cantik mereka berdua. Di samping
foto itu pun, Fira melihat rajutan halus yang tidak asing lagi karya Fatimah
yang bergambar dua bunga cantik. Di pojok foto tertuliskan 'untuk kak Salsa
yang tersayang. Selamat ulang tahun yang ke-16 ya!' Shafira pun terbayang
dengan sosok adiknya. Ia sempat terharu dengan foto dan lukisan itu. Tak lama
kemudian, datanglah Fatimah yang sedang membawa tiga cangkir sirup dan sekotak
kue brownies.
"Silahkan dimakan kuenya dan
diminum sirupnya, ya kak!" kata Fatimah dengan senyum lebarnya. Shafira
pun kagum pada adiknya Salsa. Ia pun meminum sirup yang telah dibuatkan oleh
Fatimah.
"Makasih ya, dik. Hmmm... manisnya
pas. Apa sirup ini kamu yang buat?" tanya Fira.
"Hehe... iya, kak. Syukurlah
kalau manisnya pas." balas Fatimah. Mendengar itu, Fira pun ingin bertanya
pada Fatimah. Sebuah pertanyaan yang ingin sekali ia tanyakan.
"Dik, kakak mau tanya. Kenapa
sih kamu kok mau nyiapin makanan dan minuman ini untuk aku? Padahal aku kan
tamunya kakakmu?" tanya Fira.
"Tamu kakakku itu tamuku juga,
kak. Ini sudah biasa kok. Saat aku kedatangan tamu dari temanku, kak Salsa juga
membantuku untuk menyiapkan jajanan buat tamuku. Saat aku dalam keadaan susah
pun, kak Salsa sering membantuku. Pokoknya, kita tu saling membantu dalam
keadaan apa pun." jawab Fatimah dengan bangganya. Ia terlihat senang
sekali mempunyai kakak yang bernama Salsa. Mendengar itu, Fira pun merasa bersalah
pada adiknya. Ia teringat pada kata guru Fisikanya bahwa hal yang dialaminya
itu berkaitan dengan Hukum Newton ke-3 yakni 'sebab-akibat'.
"Selama ini aku nggak pernah
menunjukkan rasa peduli pada dik Sheila. Aku jadi tahu bahwa apabila aku baik
ke adikku, care, dan mau menolongnya,
pasti dia akan care, nggak usil,
menolongku, dan baik ke aku," kata Shafira dalam hati. Rupanya, ia telah
sadar sekarang.
"O iya, kak... ini buku Biologi
kakak. Tadi, katanya kak Salsa mendadak disuruh ibu ke pasar lewat gerbang
belakang, lalu ia menitipkan buku ini ke aku. Maaf ya kak, kak Salsa harus
segera ke pasar soalnya nanti mau ada acara di rumah ini... Jadi ya harus beli
ini itu untuk cepat dimasak." gumam Fatimah.
"Ah, nggak-papa, kok. Kalau
begitu, makasih ya, cantik! Kakak pamit dulu. Assalamu'alaikum!" kata
Shafira pada Fatimah. Fatimah pun pipinya memerah.
"Hehe... sama-sama, kak!
Wa'alikumsalam. Hati-hati ya, kak! Kapan-kapan main kesini lagi lo,
ya...." pinta Fatimah dengan senyuman dari bibir kecilnya.
"Pasti dong! Dadaa~"
"Daa~"
Shafira pun bergegas menuju toko
boneka barbie. Di sana, ia belikan adiknya sebuah boneka barbie cantik,
berambut pirang, dan bermata biru. Ia akan memulai hubungan baik pada adiknya.
Ia yakin, adik akan merasa senang. Ia pun bertekad untuk menjadi contoh kakak
yang baik. Lalu, ia pun memancal pedal sepedanya menuju ke rumahnya.
Sesampainya, ia buat kejutan ke adiknya.
"Ciluuuk... Baaa!" Shafira
menutup mata adiknya dan langsung melihatkannya sebuah boneka Barbie kesukaan
adiknya.
"Barbie!!! Hore... makasih, kak
Fira... Sheila sayang kakak!" Sheila langsung memeluk kakaknya dengan
penuh tawa yang selama ini jarang Fira lihat. Fira pun ikut senang dan mengelus
rambut adiknya. Dia terkejut bahwa adiknya akan memeluknya. Hari demi hari
telah berganti. Suasana rumah jadi semakin nyaman. Tak ada tengkar, suara
teriak, dan luka. Kini, Shafira dan Sheila adalah sepasang kakak-adik yang ceria dan saling membantu. \(^-^)/
Catatan : Sesama saudara, harusnya saling rukun. Sejatinya, mereka adalah orang yang mau mengerti keadaan kita. Kita pun harus menghargai dan menolong mereka. (^∇^)
TAMAT
By : Alsy Taqiya Herasafitri
Saling Membantu
Tag :
Cerpen (Short Stories)
Read Post : Saling MembantuMay 11, 2017
Author : Alsy Taqiya
Comments : 0
Tag :
Cerpen (Short Stories)
Read Post : Saling MembantuMay 11, 2017
Namaku
Phei. Tinggal di sebuah desa pinggiran di Thailand. Orang tuaku bekerja sebagai
penulis. Huh, entah mengapa, aku tidak begitu tertarik dalam menulis. Tak sama
dengan adik-adikku yang setiap hari selalu meluangkan waktunya untuk menulis.
Rumah adalah neraka bagiku. Setiap hari, aku selalu dipaksa untuk menulis oleh
orangtuaku, terutama ibuku. Aku dibeda-bedakan kedua orang tuaku dengan adikku
lain. Kesal. Sangat kesal. Aku bingung, mengapa mereka tertarik dalam menulis.
Padahal, hasil karya tulisan mereka seringkali ditolak mentah oleh penerbit
buku, tapi kenapa mereka tetap menyukai pekerjaan yang membosankan itu?!
Bahkan,
ayahku yang telah kehilangan kedua tangannya sejak aku kecil, masih memaksakan
menulis dengan kakinya. Aku yang memiliki ayah seperti itu, menjadi bahan
olok-olok temanku di sekolah. Terpaksa ku tak mengakui bahwa dia adalah ayahku.
Walaupun ia sayang padaku, aku membencinya. Beda dengan ibuku yang justru
semakin galak tiap harinya. Di saat aku butuh support, ia malah men-judgeku
dengan membeda-bedakan adikku yang lain yang sok rajin menulis novel di depan
orang tuaku. Cih, tapi ya memang rajin sih.
“Memang
tidak ada kah pekerjaan lain selain menulis?” kataku pada mereka setiap mereka
memaksaku menulis. Setiap ku coba untuk menulis, aku tidak memiliki imajinasi
yang tajam sehingga yang ku tulis hanya kata-kata bodoh yang tak bermakna. Aku
pun juga merasa aneh dengan sebuah pena yang diberikan oleh orang tuaku. Saat
aku tidur, pena itu selalu mengikutiku dan berubah menjadi sebuah pena yang
amat besar dan tajam yang selalu memberikan aku selembar kertas dan memaksaku
untuk menulis dengan pena itu sendiri. Saat itulah, suara aneh menghantuiku berulang-ulang kali. “Menulislah nak, karena dengan itu kau akan
mengerti…”
“Mau
kemana? Pakai jaket dulu nak, di luar sangat dingin!” Ayah berbicara denganku
sambil menyeruput kopi yang disuapkan oleh adikku. |
“Tidak, ayah! Aku bukan anak kecil lagi. Aku mau ke mana saja ke tempat yang ku suka! Aku muak di sini!” balasku mentah pada ayah. Aku melangkah ke arah yang ingin kutuju. Di tengah jalan, aku bertemu dengan sekumpulan temanku yang menatapku sinis,
“Hei lu, anak orang cacat! Mana bakat loe menulis pake kaki? Ha-Ha-Ha! Dasar ga tau diri!” Mereka mengolok-olokku dengan membawa-bawa ayahku.
“Siapa kalian! Enak aja, aku tak punya ayah cacat! Minggir!” kataku spontan.
“Halah, anak orang kismin aja, HAHA! Lihat, HP gue baru nih. Gak kepingin? Ini HP bersistem paling canggih ‘n gak kalah nge-trend sama HP jadulmu!” tunjuk Roy, anak orang terkaya di desa itu.
Aku pun tak menghiraukan kata-kata mereka dan berjalan terus untuk menemukan tempat yang cocok dengan mood-ku sekarang. Tetapi, aku tetap terbayang oleh kata pedas mereka di sepanjang jalan. Rasanya, aku tak menerima kepahitan hidupku ini.
“Tidakkah ada yang senasib denganku?!” Sejenak ku melewati rumah gubuk tua yang sangat jelek dan di dalamnya terlihat ada sosok ibu, ayah, dan seorang anak yang sangat kurus kering kerontang dibanding dengan keadaan keluargaku. Aku menyadari bahwa di sana ada banyak orang yang lebih parah nasibnya daripada aku. Tetapi, tetap saja. Kata-kata mereka yang telah membuat telingaku panas tetap saja melintas di pikiranku. Tanpa sadari, aku telah berjalan jauh ke tengah kota.
”Aku benci pulang ke rumah! Aku benci mereka! Benci orang tua! Benci semua! Benci diriku!” Aku tak tahu arah. Ku tersesat. Tanpa ku sadari, aku telah berada di tengah jalan, dan…
“HONK-HONK~ ! HONK-HONK~!!”
“Brakk!”
“Tidak, ayah! Aku bukan anak kecil lagi. Aku mau ke mana saja ke tempat yang ku suka! Aku muak di sini!” balasku mentah pada ayah. Aku melangkah ke arah yang ingin kutuju. Di tengah jalan, aku bertemu dengan sekumpulan temanku yang menatapku sinis,
“Hei lu, anak orang cacat! Mana bakat loe menulis pake kaki? Ha-Ha-Ha! Dasar ga tau diri!” Mereka mengolok-olokku dengan membawa-bawa ayahku.
“Siapa kalian! Enak aja, aku tak punya ayah cacat! Minggir!” kataku spontan.
“Halah, anak orang kismin aja, HAHA! Lihat, HP gue baru nih. Gak kepingin? Ini HP bersistem paling canggih ‘n gak kalah nge-trend sama HP jadulmu!” tunjuk Roy, anak orang terkaya di desa itu.
Aku pun tak menghiraukan kata-kata mereka dan berjalan terus untuk menemukan tempat yang cocok dengan mood-ku sekarang. Tetapi, aku tetap terbayang oleh kata pedas mereka di sepanjang jalan. Rasanya, aku tak menerima kepahitan hidupku ini.
“Tidakkah ada yang senasib denganku?!” Sejenak ku melewati rumah gubuk tua yang sangat jelek dan di dalamnya terlihat ada sosok ibu, ayah, dan seorang anak yang sangat kurus kering kerontang dibanding dengan keadaan keluargaku. Aku menyadari bahwa di sana ada banyak orang yang lebih parah nasibnya daripada aku. Tetapi, tetap saja. Kata-kata mereka yang telah membuat telingaku panas tetap saja melintas di pikiranku. Tanpa sadari, aku telah berjalan jauh ke tengah kota.
”Aku benci pulang ke rumah! Aku benci mereka! Benci orang tua! Benci semua! Benci diriku!” Aku tak tahu arah. Ku tersesat. Tanpa ku sadari, aku telah berada di tengah jalan, dan…
“HONK-HONK~ ! HONK-HONK~!!”
“Brakk!”
***
“Di
mana ini? Aku di mana? Siapa kau?” ku berkata lemah pada seorang laki-laki muda
yang mengenakan jas putih dan membawa peralatan medis.
“Arrrgh.. sakit. Ada apa dengan tangan kiriku?” kataku dalam hati.
Aku dihantui dengan beribu-ribu pertanyaan terhadap aku sendiri. Lalu aku menangis. Ku sadari bahwa aku telah tertabrak truk tadi siang. Merasa kesakitan, ku coba untuk tidur tanpa kata terucap lagi. Aku bermimpi. Butiran-butiran debu terpajang jelas ke arahku. Dan pena itu… lagi-lagi muncul di mimpiku. Ayah dan ibu di sana. Mereka menambil pena itu yang nampak patah. Mereka menangis dan terisak dengan kepatahan pena itu yang kemudian mereka simpan. Tiba-tiba ku mendengar jeritan mereka memanggil namaku.
“Phei… Phei…!! Anakku, Phei…!!” Aku tersontak dan terbangun. Ku rasakan sakit. Ku lihat di luar jendela yang telah gelap. Ternyata, matahari telah berganti bintang. Ku lihat ada dua orang yang duduk di samping kanan dan kiri kasurku. Mereka ayah dan ibuku yang tertidur dengan air mata yang masih berlinang. Ku coba untuk berbicara, namun tak bisa. Kondisiku yang sangat lemah ini membuatku sulit menggerakkan semua anggota badanku termasuk mulutku. Dalam hati ku berkata, “Ayah… ibu… maafkan aku, yang telah membuat kalian semakin susah.”
“Arrrgh.. sakit. Ada apa dengan tangan kiriku?” kataku dalam hati.
Aku dihantui dengan beribu-ribu pertanyaan terhadap aku sendiri. Lalu aku menangis. Ku sadari bahwa aku telah tertabrak truk tadi siang. Merasa kesakitan, ku coba untuk tidur tanpa kata terucap lagi. Aku bermimpi. Butiran-butiran debu terpajang jelas ke arahku. Dan pena itu… lagi-lagi muncul di mimpiku. Ayah dan ibu di sana. Mereka menambil pena itu yang nampak patah. Mereka menangis dan terisak dengan kepatahan pena itu yang kemudian mereka simpan. Tiba-tiba ku mendengar jeritan mereka memanggil namaku.
“Phei… Phei…!! Anakku, Phei…!!” Aku tersontak dan terbangun. Ku rasakan sakit. Ku lihat di luar jendela yang telah gelap. Ternyata, matahari telah berganti bintang. Ku lihat ada dua orang yang duduk di samping kanan dan kiri kasurku. Mereka ayah dan ibuku yang tertidur dengan air mata yang masih berlinang. Ku coba untuk berbicara, namun tak bisa. Kondisiku yang sangat lemah ini membuatku sulit menggerakkan semua anggota badanku termasuk mulutku. Dalam hati ku berkata, “Ayah… ibu… maafkan aku, yang telah membuat kalian semakin susah.”
Di
genggaman tangan ibu kulihat ada sebuah buku berwarna merah marun yang tak
pernah ku ketahui sebelumnya. Aku mencoba untuk mengambilnya dengan tangan
kananku perlahan-lahan dan dalamnya berjudulkan sepucuk cerita perjalanan hidup
ayah dan ibuku. Pada halaman pertama, ku temukan bahwa ayah dan ibu yang
sama-sama orang Thailand, bertemu pertama kali di luar negeri, yakni negara
Italia saat mereka dipilih menjadi penulis terbaik yang telah mengarang lebih
dari 50 buku tentang berbagai macam topik terhangat. Aku salut pada mereka. Di
foto tertuliskan “Our Sweet Journey.”
Entah mengapa, aku jadi membeku saat melihat foto mereka saat muda. Di halaman
itu juga tertuliskan bahwa mereka menikah di sana dan tinggal di Roma selama 5
tahun. Tak disangka, ternyata aku lahir di Roma, Italia. Mengapa aku baru tahu
sekarang? Mengapa mereka tak menceritakannya padaku? Aku yang berusia 15 tahun
sekarang baru mengerti tempat lahirku. Di halaman itu terdapat fotoku dan ayah
ibu yang mencium pipiku. Aku tersentuh dan merasakan kasih sayang mereka yang
sangat besar.
Pada
halaman kedua, ada sepatah cerita ayah. Walau tulisannya agak pudar, aku tetap
dapat membacanya. Cerita itu menceritakan tentang perjalanan pulang dari
Italia.
Minggu,
23 Oktober 1839
Pagi
itu basah ditetesi oleh salju,
mengiringi perjalanan pulang kita. Salju terus turun. Tumpukan-tumpukan putih
berkilauan di pinggir jalan, membentuk bukit-bukit kecil di sepanjang jalan
raya dan jalur pejalan kaki Roma. Tiba-tiba angin kencang datang, pertanda ada
badai menghempur. Kita dan Phei yang sedang menaiki mobil mini kala itu
khawatir dan memikirkan jalan keluar. Tiba-tiba pohon besar menimpa mobil dan
memecah kaca mobil. Segera ku peluk kalian… Ku tak ingin kau dan Phei terluka.
Darah bercucuran sekujur tubuhku. Ku tahan sakit meski harus kehilangan kedua
tanganku. Bagiku, itu lebih baik daripada kehilangan kedua orang yang sangat
kusayangi…”
Hiks. Aku terisak oleh cerita yang
ditulis ayah dengan kakinya karena terlihat jejak kaki di cerita itu. Hiks. Air
mata terus bercucuran membasahi pipiku. Ya Tuhan… betapa besarnya pengorbanan
ayahku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Ku merasa bahwa akulah makhluk terkejam di
bumi ini. Ku telah menyakiti perasaan ayahku yang cacat hanya karena ingin
menghindari olokan teman-teman. Seharusnya aku bangga pada ayah, yang telah
berkorban untukku dan ibu. Padahal di balik semua itu... Hiks.. Aku kejam! Ku
pandangi wajah ayahku yang tertidur di samping kananku. Terlihat sosok wajahnya
yang lelah. Oh ayah, oh ibu, maafkan Phei yang menambah beban kalian. Segera
setelah itu, ku buka halaman ketiga yang menceritakan tentang ayah dibawa ke
rumah sakit dan harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Karena itu,
kekayaan ayah ibuku yang semula berasal dari kejayaannya sebagai penulis
terkenal di seluruh penjuru dunia, habis ludes. Ayah masih bisa diselamatkan di
tengah darah yang banyak hilang, tetapi ia harus kehilangan kedua tanganya. Di
situ tertuliskan bahwa semenjak kejadian itu, ayah dan ibuku tidak dikenal oleh
penulis lainnya karena ketidaksanggupan menerbitkan buku best-seller lagi dan karena terpuruk oleh kemiskinan. Membaca itu,
aku jadi kasihan pada ayah dan ibuku. Mata mereka yang walau tertutup, nampak
berkas cahaya yang yang tetap ada untukku saat ku terjerat dalam kegelapan.
Ku buka
halaman berikutnya. Di lembaran itu nampak tinta baru yang mungkin saja baru
ditulis. Aku terkejut. Ternyata, semenjak kepergianku hari-hari kemarin, ibu
telah dinobatkan menjadi penulis tersukses ke-3 di Asia Tenggara. Beliau
memenangkan rubrik cerita tentang perang dunia dari zaman ke zaman dan sebuah
cerita fiksi yang menginspirasi banyak orang di berbagai kalangan dunia. Tak
kusangka. Selama ini, aku memang jarang sekali berkomunikasi dengan ibu. Dari
dulu, aku menganggap ibu sebagai orang yang super galak hanya karena ocehannya
padaku yang sebenarnya itu adalah nasehat baik untukku. Anak apa aku ini? Ku
baru menyadarinya betapa diriku ini telah menyusahkan mereka. Ku teringat
keadaanku sekarang, lalu, untuk biaya operasiku, apakah ini akan membuat ibu
sedih yang harus merelakan hadiah kejayaannya sebagai penulis terbaik tahun
ini? Tak habis ku pikir. Di lubuk hatiku yang sangat dalam ini, ingin rasanya aku
membuat mereka tersenyum selama ini. Aku telah bertekad untuk menjadi anak baik
dan mencontohkan yang baik pula pada adik-adikku. Aku tak ingin menyusahkan
kedua orang tuaku. Aku bangga memiliki ayah dan ibu. Mereka pahlawan sejatiku.
Aku tak akan malu pada temanku bila aku anak mereka. Akan ku buat mereka
bahagia sebelum malaikat maut menjemput mereka. Aku beruntung masih mempunyai
mereka. Aku sangat menyayangi mereka. Oleh karena itu, oh ayah, oh ibu, akan ku
rangkai dan ku hias sebuah pena menjadi sebuah buku. Ya, aku ingin meneruskan
perjuangan mereka sebagai penulis. Sekali lagi, ku ucapkan dari lubung hatiku,
Ayah... Ibu... ku mohon, maafkanlah aku.
Catatan : Hormatilah kedua orang tuamu dan sayangilah mereka. Kita tak pernah bisa menghitung betapa mahalnya jasa dan pengorbanan mereka.
Catatan : Hormatilah kedua orang tuamu dan sayangilah mereka. Kita tak pernah bisa menghitung betapa mahalnya jasa dan pengorbanan mereka.
TAMAT
By : Alsy Taqiya Herasafitri
The cold night comes with a loud
thunderstorm outside. Drop by drop of water finally makes the city wet. Dooar!
Doooar!!
“Ow yeah! It’s raining cats and dogs,” said Carl
while remembering the last English idiom lesson. Then she threw her notebook
and continued to spend much time sitting down, watching TV, and really had
nothing to do. She enjoyed it everytime.
“Stop being couch potato! Get up and do something
productive, my dear Carl!” said Carl’s mother, Mrs. Humbood. She turned off the
TV. She didn’t want to let her only daughter to be lazy.
“Please, mum! I’m so bad mood today... and I’m not a
lazy girl! I’ve done my homework!” Carl gave her book to her mother so that she
can believe her.
“Carl! Listen to your mother! We know that you
always spend too much time doing nothing! And this is the final semester, isn’t
it? Have you been prepared to face the final exam next week? Don’t go out to
spend such useless activity and don’t watch TV over an hour!” Carl’s father
showed his anger. But he just wanted the best for his daughter. Then he tried
to lower his voice, “Darling, please you go studying now, ok?” Carl just
nodded. She went to her room and began
to write such a writing.
“Dear
Mum.. Dad... I just feel like loosing
part of the puzzle in my life that makes me confused and what must I do now?
Those puzzles are my stars and the moonlight that shines through my yellow
room. But then the heavy rains come. Loosing all the memories is too easy in
that autumn. I can’t catch the leave...
But now I know... you’re the best mom and dad!" Then she slipped it in
her diary. The rain got heavier. She turned her mobile phone on to listen ‘Kiss
The Rain’.
*Some days later...*
“Yep! This is Sunday! Oh no, I’m forget that I can’t
go out,” said Carl while holding her mobile phone. Day by day she became so
bored to stay at home. However, her parents didn’t allow her to go out. So she
texted her friend Kate, to accompany her in the room.
“Cheer up! You’ve had a face like a wet weekend
since yesterday. What’s wrong with you, Carl?” Then she told Kate what was
happened in this recent days.
“I’m so fed up with being stuck in the house all day. Have you got any idea to change my parent’s mind, Kate?”’ said Carl, frowning her face.
“Hmm... one problem a million solution, isn’t? I suggest you to hear their advice and ask them politely that you wanna go out.” Then, Kate showed her big hug to her bestie. She knew that Carl needed a shoulder to cry on. That’s what are friends for. Carl got up and asked her parents politely to hang out with Kate. “Yes, dear... you may go out but you must be home before at noon, okay?” Hearing it, Carl said, “Alright, mum! Thanks a bunch.”
“I’m so fed up with being stuck in the house all day. Have you got any idea to change my parent’s mind, Kate?”’ said Carl, frowning her face.
“Hmm... one problem a million solution, isn’t? I suggest you to hear their advice and ask them politely that you wanna go out.” Then, Kate showed her big hug to her bestie. She knew that Carl needed a shoulder to cry on. That’s what are friends for. Carl got up and asked her parents politely to hang out with Kate. “Yes, dear... you may go out but you must be home before at noon, okay?” Hearing it, Carl said, “Alright, mum! Thanks a bunch.”
Carl is very happy now. She promised to herself not
to do such useless things again and began to change into the new world. Carl
feels like her spirit comes back. Then she thanked to her bestie to always
support her and to always be there in joy and sorrow. “What a fresh day this
morning!” Since then, she is used to do more productive in her whole
examination week.
The graduation school party comes. Carl is very
happy when she was declared as one of the top students in that junior high
school. Then, she and her friend Kate took some pictures with teachers and
friends. They gave a bouquet of flowers to their teacher. They just couldn’t
forget how hard her teachers taught her. Then Kate said, “Today is our school
graduation party, right? What’s your view on it?” Carl nodded. She said,
“Honestly, Kate... I’m jubilant to be declared as the graduate of this school,
but besides it, I’m so sad too because we have to leave this colourful school
which contains thousand years of memory inside, especially when we used to
spend many activity with teacher, friends, and nothing was more beautiful than
this. And you know? I have to leave to another city to continue my study next
week. Hiks...” Kate didn’t want her bestie torn into tears. She tried to
entertain her, and said, “Yeah, me too. I feel the same too. I know how hard it will be, but listen, you
never walk alone. Trust me that parting is not the end." So saying, Carl showed her smile
and said that Kate understands her well.
But, when she heard ‘Kiss The Rain’ on piano that
came from that cool boy, she was tearing with joy. “I’m terrified of this. I
know it would be changed soon. I’m just a... I’M JUST A... leave that was
falling and blown by the strong wind. All it was stay in memory with... that
cool-brilliant boy. The very silly and
awkward moments have been proved that I was... I was... No, I won’t say it.
It’s impossible. I dream immense to get it. I wanna forget it. So, I’m still
here in the RAIN?”
Suddenly, Scott stopped his perform and came to
Carl. “Hi, Carl! Let’s play together! I know you can play it too, right?” said
him, the cool boy. “Me? What? (oh no... am I dreaming?)” said Carl. “Yeah, come
on! I will take my violin. You should play that black and white thing. Are you
ready?” added Scott while taking his violin. Slowly but surely, Carl said,
“Definitely.”
And .... so it goes. The last encounter gonna be the most precious day she has ever had. She didn’t care what tomorrow will happen. She made sure that today is alright. She is not dreadful of tomorrow. Carl doesn’t know what she feels like. Happy? quiet wrong. Sad? not even. But, she is just having a beautiful butterfly in her stomach!
And .... so it goes. The last encounter gonna be the most precious day she has ever had. She didn’t care what tomorrow will happen. She made sure that today is alright. She is not dreadful of tomorrow. Carl doesn’t know what she feels like. Happy? quiet wrong. Sad? not even. But, she is just having a beautiful butterfly in her stomach!
THE
ENDBy : Alsy Taqiya Herasafitri
Kiss The Rain
Tag :
Cerpen (Short Stories)
Read Post : Kiss The Rain
Author : Alsy Taqiya
Comments : 0
Tag :
Cerpen (Short Stories)
Read Post : Kiss The Rain